
 
Tiga  dasawarsa yang lalu, anak-anak 
pengguna seragam sekolah selalu identik  dengan kaum terpelajar karena 
keluhuran ilmu dan ketinggian akhlak.  Makanya sangatlah wajar jika 
masyarakat selalu menaruh hormat dan  harapan yang besar kepada mereka. 
Namun, kini citra positif itu semakin  memudar seiring dengan semakin 
mencuatnya tindakan kekerasan di kalangan  pelajar.
Betapa tidak, hampir setiap hari, selalu saja ada berita tentang  
kekerasan di kalangan pelajar. Mulai dari tawuran, pencurian, pelecehan 
 seksual, sampai konsumsi narkoba, selalu menghiasi media massa. Bahkan,
  kekerasan yang dilakukan oleh pelajar putri yang menamakan dirinya  
sebagai Gank Nero, telah membuka mata semua orang, betapa kekerasan di  
kalangan pelajar kian hari kian mengkhawatirkan.
Istilah kekerasan di kalangan pelajar, sejak tahun 1970 lebih dikenal  
dengan istilah bullying. Seorang pelajar dikatakan sebagai korban  
bullying ketika ia diketahui secara berulang-ulang terkena tindakan  
negatif oleh satu atau lebih banyak pelajar lain. Tindakan negatif  
tersebut termasuk melukai, atau mencoba melukai atau membuat korban  
merasa tidak nyaman. Tindakan ini dapat dilakukan secara fisik  
(pemukulan, tendangan, mendorong, mencekik, dll), secara verbal  
(memanggil dengan nama buruk, mengancam, mengolok-olok, jahil,  
menyebarkan isu buruk, dll.) atau tindakan lain seperti memasang muka  
dan melakukan gerakan tubuh yang melecehkan (secara seksual) atau secara
  terus menerus mengasingkan korban dari kelompoknya.
Sepertinya, setiap pelajar pernah mengalami semua bentuk kekerasan di  
atas. Ada yang menjadi pelaku, korban atau paling tidak sebagai saksi.  
Bisa terjadi di sekolah maupun di luar sekolah; di sekolah umum, atau di
  pesantren. Bahkan, menurut pakar pendidikan, sekolah berasrama lebih  
rawan dalam hal tindak kekerasan. Kasus kekerasan di STPDN (kini IPDN)  
beberapa waktu yang lalu, membuktikan hipotesis tersebut.