Kasus
korupsi hingga saat ini masih menjadi kajian yang menarik. Masalahnya,
para koruptor mayoritas menggunakan otoritas kekuasaan sebagai peluang
untuk "mencuri" harta rakyat. Padahal, mereka telah dipilih untuk
menduduki sebuah kursi jabatan atas nama rakyat dan dengan suara rakyat,
melalui proses
Demokrasi
sebenarnya bukanlah suatu konsep politik modern tentang pengaturan
negara, tata kehidupan masyarakat, dan hak-hak masyarakat bernegara.
Demokrasi telah menjadi "darah daging" bangsa Yunani, puluhan tahun
bahkan ratusan tahun sebelum Masehi. Walaupun demokrasi merupakan konsep
kuno, tetaplah menarik untuk ditelaah dan dikritisi. Terkait dengan
nilai-nilai di dalamnya, demokrasi menjadi perhatian akademisi dan
praktisi politik.
Salah
satu negara yang menggunakan sistem demokrasi saat ini, khususnya dalam
sistem perpolitikan, adalah Indonesia. Itu dimulai tahun 1998 sejak
runtuhnya rezim Soeharto pada era Orde Baru. Sejak itulah Indonesia
mulai mengalami perubahan drastis dari sistem kekuasaan yang otoriter
menjadi demokrasi.
Demokrasi
adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang
diketahui oleh hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi berarti
memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan
kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang
dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai
martabat
Menurut
Almadudi, ada beberapa prinsip dalam demokrasi, yaitu kedaulatan
rakyat, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi
manusia (HAM), pemilihan yang bebas dan jujur. Prinsip-prinsip penting
lainnya adalah adanya persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar,
pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosial,
ekonomi, politik, dan nilai-nilai
Salah
satu hal sangat penting dari prinsip demokrasi adalah pemberian hak-hak
kaum minoritas. Dalam hal ini, pemberian hak kaum lemah bisa
ditafsirkan sebagai penetapan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada
rakyat lemah dan kaum miskin. Kebijakan pemerintah harus dijauhkan dari
kepentingan politik tertentu, apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi dan merugikan
Akan
tetapi, yang sering terjadi saat ini, kebijakan-kebijakan pemerintah
banyak yang tidak pro rakyat. Bahkan banyak kebijakan yang ditumpangi
oleh kepentingan politik dan partai tertentu. Kekuasaan dimanfaatkan
untuk memperkaya dan memperkuat partainya, bukan untuk menyejahterakan
Lebih
parah lagi, kekuasaan dijadikan "investasi" pribadi oleh sebagian
pemimpin kita. Saat pemilihan, calon pemimpin berani mengeluarkan uang
sebesar-besarnya untuk membeli suara rakyat. Tapi, setelah menjadi
pemimpin, harta rakyat "dimakan" sendiri. Kekuasaan yang dimilikinya
dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
Sikap
demikian sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Ini
merupakan tirani kekuasaan yang semestinya tidak terjadi di sebuah
negeri demokratis.
Pro Rakyat
Potret
pemimpin yang sangat pro rakyat telah dicontohkan oleh sikap Umar bin
Khattab. Khalifah kedua setelah Nabi ini telah menunjukkan contoh yang
baik untuk para pemimpin. Dia tegas, lemah lembut, dan mau berbaur
dengan rakyat bawah. Diceritakan, suatu ketika Umar jalan-jalan
berkeliling Kota Madinah. Di tengah perjalanan, ia mendengar suara
tangisan anak-anak. Kemudian dihampirinya suara tersebut, dan ternyata
dia melihat ada seorang ibu yang sedang merebus sesuatu yang di
sekelilingnya ada anak-anaknya yang sedang menunggu godokan itu matang.
Umar bertanya kepada ibu tersebut, "Wahai ibu, apa yang Anda rebus itu?"
Sang
ibu menjawab, "Batu. Saya memasaknya untuk membohongi anak-anak saya
agar mereka bisa tidur dengan mendengar suara godokan tersebut."
Mendengar
jawaban tersebut, Umar langsung bergegas pergi ke Baitul Mal hendak
mengambil gandum. Dia membawa gandum untuk diberikan kepada ibu dan
anak-anaknya tersebut dengan pundaknya sendiri. Bahkan, ketika di tengah
perjalanan ada seorang sahabat yang menawarkan diri untuk mengangkat
gandum tersebut, Umar menolaknya.
Itulah
sekilas potret kepemimpinan Umar yang penuh perhatian terhadap rakyat.
Sikap Umar tersebut patut menjadi panutan bagi setiap pemimpin. Pemimpin
seharusnya menjadi pelayan bagi rakyat. Dalam arti semua kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah harus memberikan kontribusi dan manfaat terhadap
kemaslahatan masyarakat banyak.
Namun,
beberapa pejabat negeri ini menunjukkan sikap yang tidak baik. Sudah
banyak bukti menunjukkan tentang kasus korupsi yang dilakukan para
pejabat negara kita. Mereka memanfaatkan kekuasaan sebagai alat untuk
memanipulasi rakyat. Seperti yang masih hangat di ingatan kita adalah
kasus penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan yang bekerja sama dengan
beberapa oknum aparat hukum lainnya.
Yang
terlintas dalam benak kita sekarang, sudahkah pemimpin kita terjun ke
masyarakat untuk memuliakan mereka layaknya seorang tamu? Ataukah yang
terjadi malah sebaliknya, rakyat dijadikan bulan-bulanan untuk ditipu
dan dipermainkan oleh para penguasa kita? Rakyat yang berada di bawah
garis kemiskinan dibiarkan begitu saja dan tidak mendapatkan perhatian
dari pemerintah.
Seorang
pemimpin yang hidup di negara demokratis seharusnya lebih memperhatikan
hak-hak kaum lemah dan kaum tertindas dan rakyat miskin. Tidak boleh
ada dominasi dari penguasa untuk lebih mementingkan kepentingan
pribadinya dalam memimpin. Nilai-nilai demokrasi tersebut hendaknya
menjadi prioritas utama dalam membangun sebuah negeri yang masyarakatnya
sangat plural seperti Indonesia. Seorang pemimpin dituntut untuk
bersikap adil dan tidak berpihak kepada salah satu golongan tertentu.
Dia berkewajiban memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga
negara untuk bersuara demi kepentingan bersama sebagai bentuk penerapan
negara yang demokratis.
Sumber : http://enjab.blogspot.com