Hingga dewasa ini, 
korupsi masih menjadi problem di negara-negara berkembang. Korupsi 
memang sudah menjadi penyakit sosial di negara-negara berkembang dan 
sangat sulit diberantas. Untuk melakukan pemberantasan korupsi ternyata 
juga sangat banyak hambatannya. Makanya, bagaimanapun kerasnya usaha 
yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga negara ternyata 
korupsi juga tidak mudah dikurangi apalagi dihilangkan. Bahkan secara 
seloroh bisa dinyatakan bahwa korupsi tidak akan pernah bisa untuk 
dihilangkan. Kenyatannya memang tidak ada suatu negara di dunia ini yang
 memiliki indeks persepsi korupsi (IPK) yang berada di dalam angka 
mutlak 10, paling banter adalah mendekati angka mutlak tersebut.
Sejarah korupsi memang setua usia 
manusia. Ketika manusia mengenal relasi sosial berbasis uang atau 
barang, maka ketika itu sebenarnya sudah terjadi yang disebut korupsi. 
Hanya saja memang kecanggihan dan kadar korupsinya masih sangat 
sederhana. Akan tetapi sejalan dengan perubahan kemampuan manusia, maka 
cara melakukan korupsi juga sangat variatif tergantung kepada bagaimana 
manusia melakukan korupsi tersebut. Jadi, semakin canggih manusia 
merumuskan rekayasa kehidupan, maka semakin canggih pula pola dan model 
korupsinya.
Untuk menemukan penyebab korupsi, maka 
saya ingin menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive 
atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat 
dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya 
faktor penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan 
oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut 
sebagai motif eksternal penyebab tindakan.
Manusia dewasa ini sedang hidup di 
tengah kehidupan material yang sangat mengedepan. Dunia kapitalistik 
memang ditandai salah satunya ialah akumulasi modal atau kepemilikan 
yang semakin banyak. Semakin banyak modal atau akumulasi modal maka 
semakin dianggap sebagai orang yang kaya atau orang yang berhasil. Maka 
ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah ketika yang 
bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam 
kehidupan sehari-hari. Ada outward appearance yang tampak di dalam 
kehidupan sehari-harinya. Cobalah kalau kita berjalan di daerah-daerah 
yang tergolong daerah komunitas kaya, maka hal itu cukup dilihat dengan 
seberapa besar rumahnya, di daerah mana rumah tersebut, dan apa saja 
yang ada di dalam rumah tersebut. Di Surabaya ini, maka dengan mudah 
dapat diketahui bahwa ada perumahan yang tergolong sebagai perumahan 
”elit”. Datanglah di perumahan Darma Husada Indah, maka akan terpampang 
bagaimana rumah kaum elit di negeri ini. Dan inilah gambaran kesuksesan 
atau keberhasilan kehidupan.
Di tengah kehidupan yang semakin 
sekular, maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses 
kekayaan. Semakin kaya, maka semakin berhasil. Maka ketika seseorang 
menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan
 melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, maka banyak orang yang 
mudah tergoda dengan kekayaan. Karena persepsi tentang kekayaan sebagai 
ukuran keberhasilan seseorang, maka  seseorang akan mengejar kekayaan 
itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.
Dalam banyak hal, penyebab seseorang 
melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau 
kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya
 tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh 
melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. 
Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka 
salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara 
pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah 
dalam mengakses kekayaan. Korupsi dengan demikian kiranya akan terus 
berlangsung, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang 
kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka 
semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam 
mengakses kekayaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.  
