Setiap tindakan seseorang selalu bersifat intensional, di sana ada  
pertimbangan dan kalkulasi untung-rugi sebelum seseorang melakukan.  
Termasuk ketika melakukan korupsi.
Salah satu sifat bawaan  manusia itu 
selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan  menghindari 
penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi  cepat 
mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis  
seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Terlebih lagi dengan uang  
banyak di tangan segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan  
lain yang dapat dibeli dengan uang secara konstan. Mereka berpandangan  
bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah  
segalanya.
Ada ungkapan klasik, it is money that 
makes the world  in motion. Dalam legenda Yunani kuno, pada mulanya alat
 tukar yang  sekarang disebut uang adalah berupa kepingan logam yang 
didesain secara  khusus untuk sesaji dewi Monata agar tidak marah dan, 
sebaliknya,  diharapkan melimpahkan rezeki. Dari nama dewi inilah 
kemudian muncul  kata money yang diterjemahkan menjadi uang. Dulu ketika
 alat tukar masih  berupa logam emas yang terjadi adalah perampokan, 
bukannya korupsi  berupa angka nominal melalui teknologi komputer dalam 
waktu yang amat  cepat dengan prosedur yang dibuat berbelit dan berliku 
agar sulit  ditelusuri oleh pengawas.
Ketika jumlah penduduk bumi sudah di  
atas 5 miliar, serta muncul saling ketergantungan ekonomi dan  
perdagangan antarwarga bangsa, alat nilai tukar paling praktis adalah  
lembaran uang seperti kita saksikan sekarang. Bahkan, sekarang tak mesti
  membawa uang kalau bepergian dan melakukan transaksi bisnis, cukup  
dengan kartu kredit. Ini sebuah revolusi besar dalam sejarah peradaban  
manusia. Hanya saja, ketika uang jadi komoditas, bahkan menyaingi dan  
mengungguli komoditas riil, malapetaka sosial tak terelakkan. Monopoli, 
 manipulasi, dan korupsi serta capital flight keuangan sangat mudah  
dilakukan.
Karena kekayaan saat ini berupa uang, 
maka yang  dianggap kaya adalah mereka yang tabungannya banyak, 
sekalipun uangnya  tidak produktif. Pusat kekayaan tidak lagi di desa 
dengan lahan sawah  yang luas, tetapi di dunia perbankan dan kantor 
pajak karena di situ  terakumulasi uang triliunan rupiah. Lebih celaka 
lagi jika orang merasa  kaya dengan uangnya yang banyak, tetapi disimpan
 di bank asing. Bukankah  uang laksana darah bagi tubuh? Kalau disimpan 
di bank asing, sama  halnya mengisap darah rakyat sendiri sehingga 
mereka itu tak ubahnya  sebagai gerombolan economical vampire.
Musuh rakyat dan negara
Musuh rakyat dan negara
Kalau  korupsi dilakukan oleh sekelompok
 kecil pejabat negara ataupun  perusahaan dalam jumlah yang kecil pula, 
dampaknya tidak begitu terasa.  Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebuah 
bendungan raksasa akan jebol  bermula dari kebocoran yang kecil dan 
tidak segera diatasi. Begitu pun  sebuah bangunan besar akan habis 
termakan api yang dimulai oleh jilatan  api yang juga kecil.
Sungguh menjadi problem serius bagi 
bangsa  ini karena yang melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai 
rendahan,  tetapi mereka yang kedudukan dan pendidikannya tinggi serta 
gaya  hidupnya sangat mewah sehingga korupsi berlangsung secara sistemik
 dan  jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang dimakan bukan saja daun, 
dahan,  dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang lama-kelamaan akan 
menjalar  ke akar kehidupan bernegara. Kata korupsi sendiri berasal dari
 bahasa  Latin yang bermakna menghancurkan. Jadi para koruptor memang 
sudah  berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta 
bangkrutlah  kekayaan negara dan bangsa.
Jadi, masyarakat dan pemerintah  
mestinya menempatkan para koruptor sebagai kelompok subversi musuh  
rakyat dan negara yang mesti ditindak tegas, jika perlu dihukum mati  
karena negara dan rakyat banyak yang menjadi kurban. Daya rusak tindakan
  korupsinya jauh lebih dahsyat ketimbang teroris pelaku bom bunuh diri.
  Karena daya rusak korupsi berlangsung sistemik dan menghancurkan tubuh
  birokrasi negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit 
 melawan koruptor. Jika perlu segera dibuat undang-undang pembuktian  
kekayaan terbalik terhadap pejabat negara yang strategis. Masih banyak  
putra bangsa yang ingin mengabdi untuk melayani rakyat dengan gaji di  
bawah Rp 50 juta per bulan selama lima tahun.
Di kalangan sufi  terdapat keyakinan 
kuat bahwa harta haram itu ibarat madu yang akan  mengundang semut, 
maksudnya syaitan, untuk berkerumun. Artinya, jika  rezeki yang masuk 
aliran darah adalah haram, seluruh aktivitas hidupnya  akan mudah 
tergelincir ke jalan syaitan. Makna syaitan mirip dengan kata  korupsi 
yang berasal dari bahasa Latin corrumpere, yaitu menghancurkan.  Syaitan
 adalah energi tidak terkendali sehingga menimbulkan daya  destruktif.
Jadi apa yang dilakukan koruptor 
sesungguhnya  menghancurkan dirinya, keluarganya, bangsanya, dan 
rakyatnya. Bangsa dan  negara yang sehat dan bermartabat pasti akan 
membenci korupsi. Bahkan,  negara komunis dan sekuler yang tidak 
bertuhan pun antikorupsi demi  menjaga masyarakatnya agar sehat dan 
sejahtera. Ini sejalan dengan sabda  Rasulullah, bahwa misi utama 
risalahnya adalah membentuk akhlak yang  terpuji. Orang yang mengaku 
beragama, tetapi membuat orang lain  sengsara, dikatakan mendustai agama
 dan Tuhan. Begitu firman Allah.  Nilai hidup macam apakah yang akan 
diwariskan kepada anak dan masyarakat  jika hidupnya bangga bergelimang 
korupsi?
Sumber : http://hukum.kompasiana.com/
