Pemberian
 hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus 
pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran 
hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh 
negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang 
bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. 
Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh 
bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses 
hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir 
tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak harus 
mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa. 
Di
 Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran 
hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini
 belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan 
peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, 
penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang 
diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih 
banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran 
hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak).
 Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu 
pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan 
Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak. 
Khusus
 mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan 
berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 
(delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, 
seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi 
sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang 
telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) 
tahun dijatuhkan pidana. Dalam kasus anda, karena anak tersebut berumur 
14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa 
pidana. 
Namun
 pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar 
hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk 
si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus 
diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak 
semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga 
mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan 
sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin 
serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada saat polisi 
melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan 
mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga 
disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir 
sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil 
Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam 
Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan 
meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang
 anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan 
lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti 
kronologi kejadian, motif, gambaran mengenai seriusitas kasus, kondisi 
tersangka, dll.
Litmas
 juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan 
dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut vonis) 
apa yang terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari 
kembali ke orang tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan 
hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak negara, dan anak sipil.
Dalam
 kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia 
telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah 
diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas 
Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak 
memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat.
Apabila
 pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses 
hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini
 polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan 
untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi 
kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa 
penjara atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk 
diganti dengan program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau 
restitusi bagi korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama 
proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta 
agar anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus 
anak, tahanan luar juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus 
bersekolah.
Belum
 adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak 
sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum 
adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim 
anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem 
hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan 
pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas 
yang terlibat masih merupakan pertimbangan �hukum' semata, yang 
mendasarkan keputusannya pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai
 pelanggar hukum, tingkat seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal 
yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat
 ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus 
pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan ke dalam 
proses pidana selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses 
tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan, dimana seharusnya kedua 
hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling terakhir.
Sumber : http://www.hukumonline.com/ 
