- Caleg DPR RI Dapil IV Sumatera Barat No.Urut 1

- Koordinator Pembelaan Kaum Ibu dan anak (PKIA).

- Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Pasaman.

- Sekretaris Konsultasi Hukum Bagi Rakyat Tertindas.

Kamis, 20 Februari 2014

Hukum bagi Anak di Bawah Umur

Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa.


Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.

Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Pengadilan Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Dalam kasus anda, karena anak tersebut berumur 14 (empat belas) tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana.

Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada saat polisi melakukan penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer. Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi kejadian, motif, gambaran mengenai seriusitas kasus, kondisi tersangka, dll.

Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang kasus yang bersangkutan dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa disebut vonis) apa yang terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan mulai dari kembali ke orang tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak negara, dan anak sipil.


Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat.

Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.

Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang sistem peradilan anak sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi pada belum adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah hakim anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang terlibat masih merupakan pertimbangan �hukum' semata, yang mendasarkan keputusannya pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum, tingkat seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan, dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling terakhir.