Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar 
mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. 
Monisme dan dualisme. Perbedaan pandangan ini lahir, tentunya sebagai 
akibat dari perbedaan dasar filsafat dalam menelaah kaidah hukum itu 
sendiri, serta latar sosial yang menjadi background munculnya 
teori-teori tersebut. Menurut teori monisme, hukum nasional dan hukum 
internasional merupakan dua aspek yang berasal dari satu sistem hukum 
umumnya. Pandangan ini dikemukakan oleh Hans Kelsen. Lebih jauh Kelsen 
mengemukakan, bahwa tidak perlu ada pembedaan antara hukum nasional 
dengan hukum internasional, mengapa? Alasan pertama adalah, bahwa objek 
dari kedua hukum itu sama, yaitu tingkah laku individu; Kedua, bahwa 
kedua kaedah hukum tersebut memuat perintah untuk ditaati; dan Ketiga, 
bahwa kedua-duanya merupakan manifestasi dari satu konsepsi hukum saja 
atau keduanya merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan 
ilmu pengetahuan hukum.
Pada dasarnya Kelsen ingin menegaskan tentang supremasi hukum 
internasional atas hukum nasional. Dia melihat hukum internasional 
sebagai the best of available moderator of human affairs, dan juga 
sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-negara. 
Karenanya hukum internasional menjadi utama daripada hukum nasional. 
Artinya, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila bertentangan dengan
 norma-norma hukum internasional atau bertentangan dengan sistem hukum 
internasional. Pandangan ini berusaha melakukan generalisasi terhadap 
latar konteks dan latar sosial, tanpa melakukan pembedaan terhadap 
keadaan geografis, budaya masyarakat, sejarah, dan perilaku sosial, dari
 masing-masing wilayah. Semuanya dianggap sama dengan apa yang terjadi 
dan berlangsung di Amerika Serikat.
Berbeda dengan Kelsen yang mengajarkan teori monisme, Triepel dan 
Anzilotti mengajarkan apa yang disebut dengan teori dualisme atau teori 
pluralistik. Menurut teori ini, hukum nasional dan hukum internasional 
merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda secara intrinsik. 
Berangkat dari uraian sederhana Oppenhiem, yang menjelaskan perbedaan 
antara hukum nasional dan hukum internasional, berdasarkan tiga 
sandaran, yaitu perbedaan sumbernya, hubungan yang diaturnya, dan 
hakikatnya.
Kemudian Triepel menjelaskan secara lebih detail, bahwa letak perbedaan antara keduanya adalah pada subjek hukumnya, jika hukum nasional subjeknya ialah individu-individu, sedangkan hukum internasional subjeknya semata-mata dan tertutup pada negara. Kemudian mengenai sumbernya, jika hukum nasional bersumber pada kehendak negara itu sendiri, sedangkan hukum internasional bersumber pada kehendak bersama. Dalam hal ini, Anzilotti menggunakan pendekatan berbeda, walaupun memiliki muara yang sama. Menurut Anzilotti, perbedaan mendasar dari hukum nasional dan hukum internasional adalah terletak pada hakikat bahwa hukum nasional harus ditaati, sedangkan hukum internasional harus dijunjung tinggi, sebagai hasil kesepakatan bersama.
Kemudian Triepel menjelaskan secara lebih detail, bahwa letak perbedaan antara keduanya adalah pada subjek hukumnya, jika hukum nasional subjeknya ialah individu-individu, sedangkan hukum internasional subjeknya semata-mata dan tertutup pada negara. Kemudian mengenai sumbernya, jika hukum nasional bersumber pada kehendak negara itu sendiri, sedangkan hukum internasional bersumber pada kehendak bersama. Dalam hal ini, Anzilotti menggunakan pendekatan berbeda, walaupun memiliki muara yang sama. Menurut Anzilotti, perbedaan mendasar dari hukum nasional dan hukum internasional adalah terletak pada hakikat bahwa hukum nasional harus ditaati, sedangkan hukum internasional harus dijunjung tinggi, sebagai hasil kesepakatan bersama.
Anzilotti pada dasarnya ingin membangkitkan kembali kenyataan 
esensial dari teori Grotius, tanpa adanya aroma hukum alam, ia mencoa 
menyelamatkan hukum internasional dengan pengakuan universal terhadap 
pacta sunt servanda. Secara mudahnya, teori dualisme ingin menjelaskan, 
bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum 
nasional berlaku dalam satu negara, yang mengatur hubungan antar 
warganegara, dan warganegara dengan pemerintah. Bilamana hukum nasional 
menetapkan hukum internasional berlaku seluruhnya atau sebagian, melalui
 sebuah pengakuan atau penerimaan, itu semata-mata karena pelaksanaan 
kewenangan hukum nasional.
Terhadap pandangan Triepel dan Anzilotti, Kelsen menyatakan bahwa terdapat kontradiksi dalam pemikiran pluralistic – dualisme, yakni ketika hukum nasional dan hukum internasional di tempatkan dalam ruang dan waktu yang sama. Di satu sisi kaum pluralistik tidak menyangkal bahwa norma hukum nasional dan norma hukum internasional dapat berlaku secara bersamaan, sedangkan di sisi lain mereka menegaskan bahwa terdapat suatu hubungan kebebasan timbal balik diantara keduanya, yang berarti tidak ada hubungan sama sekali. Pada dasarnya, kedua pandangan ini berangkat dari kerangka filosofis yang sama, yakni positivisme, yang berkembang pascaberakhirnya Revolusi Perancis, keduanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Perihal Kontrak Sosial: Prinsip-Prinsip Hukum Politik.
Terhadap pandangan Triepel dan Anzilotti, Kelsen menyatakan bahwa terdapat kontradiksi dalam pemikiran pluralistic – dualisme, yakni ketika hukum nasional dan hukum internasional di tempatkan dalam ruang dan waktu yang sama. Di satu sisi kaum pluralistik tidak menyangkal bahwa norma hukum nasional dan norma hukum internasional dapat berlaku secara bersamaan, sedangkan di sisi lain mereka menegaskan bahwa terdapat suatu hubungan kebebasan timbal balik diantara keduanya, yang berarti tidak ada hubungan sama sekali. Pada dasarnya, kedua pandangan ini berangkat dari kerangka filosofis yang sama, yakni positivisme, yang berkembang pascaberakhirnya Revolusi Perancis, keduanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Perihal Kontrak Sosial: Prinsip-Prinsip Hukum Politik.
Dalam praktiknya di lapangan pun tidak terjadi pertentangan yang 
mencolok antara kedua pandangan tersebut, lebih banyak terjadi akomodasi
 dan kompromi. Sekedar pemahaman untuk kita cermati bersama, bahwa kedua
 teori di atas, dibangun atas kerangka pikir spekulasi konstruksi 
intelektual. Namun demikan, eksistensi kedua teori tersebut tetap diakui
 dalam literatur-literatur hukum internasional.
Selanjutnya, sebagai pandangan kompromistis dari perdebatan teoritis antara penganut monisme dan dualisme, muncul teori ketiga, yang disebut dengan teori koordinasi. Teori ini menyatakan, bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu, tidak berada dalam situasi konflik atau tidak bertentangan antar keduanya, karena dua sistem itu bekerja dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya sendiri. Meski pada praktiknya di lapangan, sangat dimungkinkan terjadinya konflik implementatif, yang sering disebut dengan konflik kewajiban (conflict of obligation).
Selanjutnya, sebagai pandangan kompromistis dari perdebatan teoritis antara penganut monisme dan dualisme, muncul teori ketiga, yang disebut dengan teori koordinasi. Teori ini menyatakan, bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu, tidak berada dalam situasi konflik atau tidak bertentangan antar keduanya, karena dua sistem itu bekerja dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya sendiri. Meski pada praktiknya di lapangan, sangat dimungkinkan terjadinya konflik implementatif, yang sering disebut dengan konflik kewajiban (conflict of obligation).
Makna dari konflik kewajiban ialah ketidakmampuan negara untuk 
melaksanakan suatu kewajiban internasional, ketika negara bersangkutan 
meratifikasi suatu ketetapan atau konvensi atau perjanjian 
internasional. Akan tetapi, ketidakmampuan negara tersebut, tidak 
kemudian berakibat pada tidak sahnya hukum internal/hukum nasional. 
Kendati demikian, tanggung jawab internasional negara itu masih tetap 
eksis, dan tidak ada argumen untuk menghindar dari kewajiban 
internasional tersebuat.
