- Caleg DPR RI Dapil IV Sumatera Barat No.Urut 1

- Koordinator Pembelaan Kaum Ibu dan anak (PKIA).

- Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Pasaman.

- Sekretaris Konsultasi Hukum Bagi Rakyat Tertindas.

Rabu, 15 Januari 2014

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi di sekitar kita. Baik yang dilakukan suami kepada istri, maupun oleh ortu kepada anak. Survei tindak aniaya atau kekerasan terhadap pasangan adalah tindak penyalahgunaan kekuatan fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap pasangannya. Menurut Straus dan Gelles (1986), tindak aniaya terhadap isteri jauh lebih umum ditemui dibandingkan tindak aniaya terhadap suami.

Memang wanita bisa juga bertindak kejam sebagaimana yang dilakukan pria, namun kebanyakan tindak agresi yang dilakukan wanita adalah tindak pembelaan diri atau pembalasan. Straus, Gelles dan Steinmetz (1980) menemukan bahwa tindak kekerasan paling kejam dilakukan oleh para pasangan berusia muda.

Kasus tindak kekerasan paling banyak ditemukan pada keluarga-keluarga dengan tingkat penghasilan rendah, ada pengangguran dan stres ekonomi. Meskipun demikian, para terapis dan pasangan yang ada di kelas menengah juga perlu mewaspadai terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Konflik tentang anak-anak merupakan bentuk ketidaksepakatan suami-isteri yang paling sering mengarah pada terjadinya tindak kekerasan.

Siklus Tindak Kekerasan. Menurut Walker (1979), siklus kekerasan bisa diprediksikan dalam tiga fase yang bervariasi baik dalam hal lama berlangsungnya maupun dalam hal intensitasnya.

Pertama, fase meningkatnya ketegangan yang ditandai dengan munculnya perdebatan terus-menerus atau meningkatnya konflik. Fase ini bisa berlangsung selama beberapa hari saja atau selama beberapa tahun. Perdebatan ini akan mengarah kepada pertengkaran.
Fase kedua, adalah fase terjadinya kekerasan yang seringkali melibatkan campur-tangan polisi. Isteri kemudian minggat dari rumah, atau masuk rumah sakit.

Fase akhir, adalah fase konsiliasi atau fase di mana suami yang suka memukul ini biasanya merasa menyesal, sedih atau meminta pengampunan. Dia mungkin akan membelikan hadiah-hadiah untuk isterinya, berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama, atau dalam beberapa kasus dia akan mencari penanganan untuk dirinya sendiri.

Sumber atau Penyebab Menurut Bandura (1973), kekerasan adalah bentuk respon yang dipelajari dalam menghadapi stres. Sesudah memukuli isterinya biasanya tekanan stres menjadi berkurang. Pria yang seperti ini biasanya sejak kecil disosialisasikan untuk memendam emosi dan mengeluarkan emosi itu dalam bentuk tindakan fisik dan bukan mengeluarkannya secara verbal.

Elbow (1977) mengumpulkan data yang mengindikasikan bahwa pria yang suka memukul adalah orang-orang yang kuat dalam menimpakan kesalahan pada pihak luar, memproyeksikan kesalahan dan tanggung jawab atas suatu masalah atau konflik kepada pasangannya. Pria semacam ini memendam karakter dan kecemburuan patologis yang biasanya mempercepat terjadinya tindak kekerasan.

Di bawah rasa cemburu ini tertanam (1) perasaan rendah diri yang sangat kuat, (2) merasa tidak aman terhadap keintiman, dan (3) isolasi sosial. Rendahnya rasa percaya diri menyebabkan pria pemberang semacam ini mudah sekali terkena depresi.

Sifat impulsif dalam diri mereka semakin memperparah ketidakmampuan mereka untuk mengendalikan atau mengekspresikan kemarahan mereka dengan benar. Mereka cenderung menjadi pecandu Alkohol dan menyalahgunakan penggunaan obat-obatan, serta merendahkan/melecehkan wanita.

Karakteristik umum yang ada pada mereka adalah riwayat kekerasan yang mereka alami di masa kanak serta kekerasan dalam hubungan intim dengan pasangan dewasa. Wanita yang mengalami tindak kekerasan cenderung patuh pada peranan seks dan nilai-nilai tradisional.

Mereka seringkali mengalami aniaya pada masa kanak-kanak. Banyak yang menderita perasaan rendah diri dan percaya pada mitos bahwa entah bagaimana merekalah yang menyebabkan pemukulan itu terjadi dan merekalah yang bersalah/ bertanggungjawab atas tindakan si pemukul. Anehnya, saat seorang wanita korban KDRT berhenti dipukuli suaminya, malah bisa menjadi depresi karena dia merasa bahwa suaminya itu tidak lagi mempedulikannya karena suaminya berhenti memukuli.

Penanganan. Tidaklah mudah menjadi terapis perkawinan. Seorang terapis perkawinan yang efektif perlu memiliki gagasan yang jelas tentang sistem perkawinan yang sedang ditanganinya dan bagaimana dia bisa melakukan intervensi dengan efektif.

Kekerasan merupakan hal yang umum ditemui dalam sebuah keluarga dan kekerasan berlangsung dalam pola yang bisa diprediksikan. Dibandingkan dengan berbagai faktor sosial maka faktor-faktor psikologis lebih memberikan sumbangan besar terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Pendekatan yang paling berguna dalam memahami dan menangani kekerasan rumah tangga (termasuk penganiayaan terhadap pasangan) adalah pendekatan yang dipahami berdasarkan teori sistem. Semua terapis perkawinan perlu peduli dan memahami serta membantu menangani pasangan yang mengalami tindak kekerasan.

Cook dan Frantz-Cook telah mengembangkan suatu penanganan komprehensif yang didasarkan pada komponen berikut ini:

  1. Penilaian terhadap masalah yang ada serta mencatat riwayat keluarga secara ekstensif
  2. Adanya sebuah rencana perlindungan yang eksplisit
  3. Persetujuan tertulis untuk tidak melakukan tindak kekerasan
  4. Pembedaan peran
  5. Identifikasi koalisi dan segitiga-segitiga
  6. Identifikasi tema dan urutan konflik

Fasilitasi pola-pola alternatif untuk komunikasi dan perilaku Sebuah model penilaian yang dikembangkan oleh Rosenbaum dan O’Leary (1986) telah terbukti sangat menolong dalam menilai keparahan dan tingkat bahayanya suatu tindak kekerasan.

Jika terlihat adanya bahaya yang segera mengancam dan yang terus berlanjut, maka terapis perlu memberikan rujukan kepada sang isteri untuk mengadu ke salah satu tempat perlindungan/ shelter dan melibatkan perlindungan polisi. Terapis juga perlu menilai apakah pasangan tersebut berharap untuk tetap bersama-sama dan apakah tindak remediasi merupakan kemungkinan yang masuk akal.

Jika terlihat adanya keinginan untuk berubah maka langkah pertama adalah menghentikan perilaku kekerasan dan penganiayaan. Terapis seringkali menemui masa sulit untuk menjaga keseimbangan dalam menangani tindak penganiayaan.

Proses ini melibatkan rasionalisasi yang dilakukan oleh partner yang melakukan tindak kekerasan, menolong pasangan melihat suatu sistem yang memuat cara berhubungan dan cara memecahkan masalah yang lebih produktif, serta pada saat yang bersamaan memberikan dukungan terhadap kebutuhan serta perasaan kedua belah pihak (Nichols, 1988).

PENANGANAN

Saat menangani pasangan yang bermasalah dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga maka terapis perlu memahami lima konsep berikut ini:
  1. Si penganiaya bertanggung-jawab atas kekerasan yang dilakukannya. Korban tidak bisa menyebabkan atau menghilangkan tindak kekerasan itu.
  2. Tindak kekerasan adalah sesuatu yang dipelajari. Si penganiaya belajar untuk menganiaya, biasanya dalam keluarga asalnya. Jika si penganiaya belajar untuk bisa melakukan tindak aniaya, maka berarti dia juga bisa belajar untuk tidak-menganiaya.
  3. Provokasi tidaklah sama dengan justifikasi (pembenaran). Selalu ada alternatif lain selain tindak kekerasan. Tidak ada keadaan apa pun yang mensahkan terjadinya tindak kekerasan terhadap suami/isteri.
  4. Tindak aniaya itu sangat berbahaya bagi semua orang dalam keluarga termasuk bagi si penganiaya itu sendiri. Luka/kesakitan yang diderita korban bisa terlihat dengan jelas dan kasat mata, sedangkan bagaimana efek tindak kekerasan yang dilakukan di depan mata anak-anak mungkin bersifat lebih samar namun sama seriusnya. Tindak kekerasan adalah tindak ilegal. Karenanya si pelaku bisa ditahan, diajukan ke pengadilan dan jika terbukti bersalah maka dia akan menanggung hukuman penjara.
  5. Sekali tindak kekerasan terjadi dalam suatu hubungan maka hal ini cenderung akan terus berlanjut kecuali terjadi suatu perubahan.
Sumber :  http://www.juliantosimanjuntak.com/index.php?option=com_content&view=article&id=197:kekerasan-dalam-rumah-tangga&catid=37:konseling&Itemid=59